#Label1 .widget-content{ height:200px; width:auto; overflow:auto; }

Wednesday 8 April 2015

HUKUM-HUKUM DALAM FIQH MADZHAB

Sama seperti bidang ilmu yang lain, ahli- ahli fiqih juga mempunyai istilah-istilah khu- sus yang digunakan dalam berbagai persoalan fiqih. Demikian juga terdapat berbagai istilah dalam kitab-kitab fiqih berbagai madzhab yang masing-masaing menerangkan cara pengambilan pendapat yang terkuat (rajih) dalam madzhab. Istilah-istilah tersebut dikenali dengan nama rasm al-mufti, yaitu tanda yang menunjukkan mufti kepada apa yang difatwakan. ’Allamah Ibnu Abidin mempunyai satu risalah kitab yang dikenal dengan judul rasm al-mufti dan merupakan risalah kedua dari risalah-risalahnya yang masyhur.

A. ISTILAH-ISTILAH FIQIH YANG UMUM
Terdapat beberapa istilah fiqih yang umum, yaitu fardhu, wajib, sunnah, haram, makruh tahrim, makruh tanzih, dan mubah. Semua ini adalah jenis hukum taklifi,21 menurut para pakar usul fiqih madzhab Hanafi.
Ada juga beberapa istilah yang dikaitkan dengan wajib, yaitu ada’ (tunai), qada’i adah (mengulang], rukun, syarat, as-sabab, mani’, shahih, fasid (rusak), ‘azimah, dan rukhshah yang tnerupakan kategori hukum wadh‘i menurut ulama usul fiqih.

1. FARDHU
Fardhu ialah sesuatu yang dituntut oleh syara’ supaya dikerjakan, dan tuntutan itu adalah tuntutan yang pasti berdasarkan dalil qath’i 3’ang tidak ada kesamaran lagi. Con- tohnya adalah rukun Islam yang lima yang tuntutannya berdasarkan Al-Qur’an Al-Karim. Termasuk juga perkara yang tuntutannya ditetapkan dengan sunnah yang mutawatir atau sunnah yang masyhur seperti membaca Al- Qur’an dalam shalat. Begitu juga perkara yang ditetapkan dengan ijma seperti pengharaman jual beli empat jenis makanan, yaitu gandum sya’ir, gandum qumh, kurma, dan garam, yang dijual (ditukar) sesama jenis secara tangguh.Hukumnya ialah ketetapan itu harus dilakukan dan orang yang melakukannya diberi pahala sedangkan orang yang meninggalkannya akan disiksa (dihukum) dan orang yang mengingkarinya adalah kafir.

2 WAJIB
Wajib ialah sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk dilakukan dan tuntutan itu adalah tuntutan yang pasti berdasarkan dalil zhanni yang ada kesamaran padanya. Contohnya, seperti zakat fitrah, shalat Witir, dan shalat Dua Hari Raya, karena perkara-perkara itu ditetapkan dengan dalil zhanni, yaitu dengan hadits ahad dari Nabi Muhammad saw.. Hukumnya adalah sama seperti fardhu, cuma orang yang mengingkarinya tidak menjadi kafir.
Fardhu dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain ulama Hanafi. Mereka mendefinisikan wajib sebagai sesuatu yang dituntut oleh syara’ supaya melakukan dengan tuntutan yang pasti.

3. MANDUB ATAU SUNNAH
Yaitu, sesuatu yang dituntut dari seorang mukallaf supaya dia melakukannya, tetapi tuntutan itu bukan tuntutan yang pasti, atau dengan kata lain ia adalah sesuatu yang diberikan pujian kepada orang yang melakukannya, tetapi yang meninggalkannya tidak dicela. Contohnya adalah mencatat utang. Hukumnya ialah orang yang melakukannya diberi pahala dan orang yang meninggalkannya tidak dihukum (disiksa), tetapi Rasulullah saw. mencela orang yang meninggalkannya.

Menurut para ulama selain golongan Hanafi, mandub juga dinamakan dengan is- tilah sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, murghab fih, ihsan, dan husn. Ulama Hanafi membagikan mandub kepada mandub mu’ak- kad seperti shalat Jumat, mandub masyru’ seperti puasa hari Senin dan Kamis dan mandub za’id seperti mengikut cara Rasulullah saw. dalam makan, minum, berjalan, tidur, memakai pakaian, dan lain-lain.
Pengarang ad-Durr al-Mukhtar dan Ibnu Abidin memilih pendapat jumhur. Mereka berdua mengatakan tidak ada perbedaan an- tara mandub, mustahab, nafilah, dan tathawwu’. Meninggalkan perkara-perkara tersebut adalah tindakan yang tidak utama (khilaf al-aula). Kadang-kadang membiasakan diri meninggalkan perkara-perkara tersebut dapat menjadi makruh.

4. HARAM
Haram ialah sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang jelas dan pasti. Menurut ulama Hanafi,
haram ialah sesuatu yang perintah meninggalkannya ditetapkan berdasarkan dalil qath’i yang tidak ada kesamaran. Contohnya adalah pengharaman zina dan pengharaman mencuri. Hukumnya ialah perkara-perkara itu wajib djauhi dan pelakunya dihukum (disiksa). Ia juga dinamakan maksiat, dosa (dzanb), keji (qabih), mazjur ‘anhu, dan mutawa’id ’alayhi. Orang yang mengingkari keharaman adalah kafir.

5. MAKRUH TAHRIM
Menurut ulama Hanafi, makruh tahrim ialah sesuatu yang dituntut oleh syara’ supaya ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak jelas dan pasti berdasarkan dalil zhanni, seperti melalui hadits ahad. Contohnya ialah hukum membeli barang yang hendak dibeli oleh orang lain, seperti bertunangan dengan tunangan orang lain dan memakai sutra serta emas oleh lelaki. Hukumnya ialah orang yang meninggalkannya diberi pahala dan orang yang melakukannya dihukum (disiksa).
Dalam Madzhab Hanafi, jika disebut ka- ta makruh, maka maksudnya adalah makruh tahrim. Maksud makruh tahrim menurut mereka ialah sesuatu yang dilarang itu lebih dekat kepada keharaman, tetapi orang yang mengingkarinya tidaklah menjadi kafir.

6. MAKRUH TANZIH
Menurut ulama Hanafi, makruh tanzih ialah sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk ditinggalkan tapi tuntutannya tidak pasti dan tidak mengisyaratkan kepada hukuman. Contohnya adalah memakan daging kuda perang, karena kuda itu diperlukan untuk jihad, seperti mengambil wudhu dari air di bejana sisa minuman kucing atau burung yang memburu seperti elang dan gagak, seperti meninggalkan sunnah-sunnah mu’akkad. Hukumnya ialah orang yang meninggalkannya diberi pahala dan orang yang melakukannya dicela, tetapi tidak dihukum.
Menurut ulama selain golongan Hanafi, makruh hanya mempunyai satu jenis saja, yaitu sesuatu yang diturunkan oleh syara` supaya ditinggalkan dan tuntutan itu bukan tuntutan yang pasti. Hukumnya ialah orang yang meninggalkan dipuji dan diberi pahala. Adapun orang yang melakukan tidak di cela dan tindak hukum.

7. MUBAH
Mubah ialah sesuatu yang syara’ memberikan kebebasan kepada seorang mu- kallaf untuk melakukannya, atau meninggalkannya. Contohnya adalah makan dan mi-num. Hukum asai dari segala sesuatu adalah mubah selama tidak ada larangan atau pengharaman. Hukumnya ialah tidak ada pahala dan tidak ada hukuman (siksa) bagi orang yang melakukannya, ataupun orang yang meninggalkannya. Kecuali dalam kasus apabila meninggalkan perkara mubah itu akan menyebabkan kebinasaan. Dalam keadaan seperti itu, maka makan menjadi wajib, dan meninggalkannya adalah haram untuk menjaga nyawa.

No comments :

Post a Comment