#Label1 .widget-content{ height:200px; width:auto; overflow:auto; }

Monday 6 April 2015

Pengertian tasybih dan tajsim menurut Aswaja

Allah ta’ala berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

 “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi “ (Q.S. as-Syura:11)

Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya dari segi apapun, berikut penjelasannya :

Secara Nahwu :

Lafadz “ syaiun “ (شَيْئٌ) dalam ayat itu disebutkan dalam bentuk isim Nakirah setelah susunan Nafyun (penafian) (لَيْسَ), sedangkan isim Nakirah jika disebutkan setelah Nafyun, menjadi makna yang menyeluruh, artinya Allah menafikan keserupaan dan kesamaan Dzatnya dengan semua apapun dari makhluk-Nya.


Secara Balaghah :

Dalam ayat tersebut, kalimat tasybih Kaaf dan Mitsl menjadi satu. Jika kedua kalimat tasybih ini menjadi satu dalam konteks penafian, maka berfaedah menafikan sekecil-kecilnya penyerupaan.

Tasybih yang dibuang huruf tasybihnya, maka disebut tasybih muakkad, contoh : Zaidun Asadun (Zaid adalah singa). Dan tasybih yang disebutkan huruf tasybihnya, maka disebut tasybih mursal, contoh : Zaidul kal asadi (Zaid seperti singa).

Tasybih muakkad lebih kuat daripada tasybih mursal. Dan tasybih mursal lebih lemah daripada tasybih muakkad. Zaid adalah singa lebih kuat arah penyerupaannya ketimbang Zaid seperti singa. Dan tiap kali huruf tasybih ditambah, maka akan semakin lemah arah penyerupaannya. Zaid kal asad (zaid seperti singa) lebih kuat ketimbang zaid ka mitslil asad (zaid seperti umpama singa) karena ada tambahan huruf kaf dan mistl.

Kemudian jika tasybih yang paling lemah dimasukkan huruf nafyin (penafian), maka faedahnya adalah menafikan sekecil apapun dari keserupaan yakni menafikan arah penyerupamaan dari segala sudut.

Maka ayat di atas maknanya sesungguhnya Allah tidak ada satu pun makhluk yang menyerupainya dari segi apapun. Huruf kaf dalam ayat menafikan mumatsalah (persamaan) dan huruf mitsl menafikan musyabahah (penyerupaan). Maka ayat di atas menafikan mumtasalah dan musyabahah secara bersamaan. Contoh :

Jika kita berkata : (زيدٌ ليس كالأسد) maka kalimat itu berfaedah bahwa Zaid tidak menyerupai singa dari sebagian sisinya.

Tapi jika kita katakan : (زيدٌ ليس مثل الأسد)  maka kalimat itu berfaedah bahwa Zaid tidak menyerupai singa dari semua sisi.

Dan jika kita katakan : (زيد ليس كمثل الأسد)  maka kalimat itu faedahnya lebih sempurna dan mencangkup artinya sesungguhnya Zaid tidak sama dan tidak serupa dengan singa dari sisi manapun.

Jika kita artikan lafadz Mitsl dalam ayat itu berfungsi sebagai shifat, maka terkandung peringatan bahwasanya Allah Ta’ala walaupun disifati dengan banyak sifat-sifat manusia, maka persekutuan dalam sifat-sifat itu hanyalah dari segi lafadz bukan secara hakikatnya. Dan jika kita artikan mistl di situ sebagai syabih (serupa), maka itu adalah peringatan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya.

Dan lafadz Mitsl dalam ayat tersebut adalah lafadz-lafadz yang paling umum bagi penyerupaan. Al-Imam ahli lughah Fairus Abadi mengatakan :

أن الند يقال فبما يشاركه في الجوهرية فقط , والشكل يقال فيما يشاركه في القدر والمساحة , والشبه يقال فيما يشاركه في الكيفية فقط , والمساوي يقال فيما يشاركه في الكمية فقط , والمثل عام في جميع ذلك , ولهذا لما أراد الله نفي التشبيه من كل وجه خصه بالذكر , فقال تعالى في سورة الشورى : “ليس كمثله شيء
“ Sesungghnya Nidd itu sesuatu yang menyerupai di dalam materinya saja. Syakl menyerupai di dalam kadar dan batasan. Syabah menyerupai di dalam kaifiyyah saja. Al-Musawi menyerupai di dalam al-kumyah saja. Dan Mistl menyerupai secara umum di semua itu. Oleh sebab itu ketika Allah hendak menafikan tasybih dari segala sisi, Allah memilih secara khusus lafadz mitsl, maka Allah berfirman dalam surat asy-Syura, “ Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi “

Kesimpulannya : Ayat di atas menunjukkan bahwasanya Allah Maha Suci dari segala bentuk keserupaan atas makhluk-Nya. Maka persekutuan / perkongsian antara sifat Allah dan sifat Makhluk-Nya hanyalah persekutuan secara lafadznya saja bukan secara hakikatnya.

Al-Imam Baihaqi mengatakan :

ثم يعلم أن صانع العالم لا يشبه شيئا من العالم لأنه لو أشبه شيئا من المحدثات بجهة من الجهات لأشبهه في الحدوث من تلك الجهة , ومحال أن يكون القديم محدثا أو يكون قديما من جهة حديثا من جهة
“  kemudian hendaknya mengetahui, sesungguhnya Pencipta Alam tidaklah menyerupai akan sesuatu apapun dari alam ini. Karena jika Dia menyerupai sesuatu dari perkara yang baru (makhluk) dengan suatu arah, maka niscaya Allah akan menyerupai makhluk itu dalam kebaruannya dari arah itu. Dan mustahil Dzat yang Maha Dahulu itu bersifat baru atau bersifat Maha Dahulu dari segi satu arah dan bersifat baru dari segi arah lainnya “.[1]

Persamaan Antara sifat Allah dan makhluk-Nya bersifat lafdzi bukan hakiki.

Hakikat sesuatu terkadang memiliki kesamaan pada hakekat yang lainnya di semua dzatnya, sehingga memiliki keserupaan yang sempurna di Antara keduanya, seperti keserupaan manusia dengan manusia. Atau terkadang memiliki kesamaan di sebagian dzatnya, seperti kesamaan manusia dengan kuda atau itik dari sisi jenis dekatnya yakni jenis hayawaniyyahnya[2], atau kesamaan manusia dengan batu dari sisi jenis jauhnya yaitu jismiyyahnya.

Adapun kesamaan sang Pencipta dengan ciptaan-Nya di semua Dzat atau sebagiannya, maka telah dinafikan oleh dalil-dalil Naqli (Nash) dan Aqli (Akal).

Dan sesuatu itu terkadang memiliki kesamaan di dalam hal yang di luar dzat keduanya, ini disebut dengan “ isytirak fi ma’ani I’tibariyyah “ seperti perkongsian dua sesuatu yang berbeda di dalam penisbatan tindakan dan konsekuensinya atau lainnya. Atau seperti perkongsian hakikat Allah dengan hakikat makhluk-Nya dari sisi ketetapan dan kenyataan yakni yang kita sebut dengan wujud, artinya Allah dan manusia sama-sama wujud, akan tetapi wujud Allah dan makhluk-Nya berbeda, maka kesamaan wujud Allah dan makhluk-Nya hanyalah dari segi lafadznya saja bukan hakekat wujudnya.

Perkongsian di dalam perkara-perkara yang bersifat wujud, akan melazimkan bagi dua sesuatu yang berkongsi / bersyerikat pada perkara yang boleh bagi lainnya dan perkara yang wajib bagi lainnya. Jika dua sesuatu bersyerikat / berkongsi di dalam kelazimannya, maka sah saja menyebutkan nama bagi keduanya meskipun hakikatnya berbeda artinya adanya perkongsian nama tidak mengharuskan adanya keserupaan di dalam hakikatnya, akan tetapi cukup perkongsian atau bersyerikat (isytirak) di dalam kelazimannya saja atau ta’alluqnya. Contoh pendengaran, bagi manusia pendengaran itu adalah alat pendengaran manusia dengan telinga[3], ini hakikat makna pendengaran bagi makhluk, kelaziman dari pendengaran ini adalah tersingkapnya segala sesuatu yang didengar. Dan sifat pendengaran Allah adalah sifat yang dengan-Nya tersingkap segala yang didengar. Sedangkan tersingkapnya segala yang didengar bukanlah makna hakikatnya, akan tetapi itu sebuah kelaziman dari pendengaran.

Maka perkongsian / kesyerikataan pendengaran makhluk dengan pendengaran Allah, bukanlah di dalam asal makna dan hakikatnya, melainkan di dalam kelazimannya yaitu sama-sama tersingkapnya segala sesuatu yang didengar dengan berbeda pula hakikat kelazimannya. Kelaziman sifat bukanlah suatu perkara yang wujud yang berdiri di dalam dzat.

Kesimpulannya : Perkongsian atau kesyerikatan (isytirak) Antara sifat Allah Ta’ala dengan sifat makhluk-Nya adalah hanyalah isytirak di dalam salah satu kelaziman (lawazim), ta’allu (keterkaitan) dan I’tibar saja, bukan isytirak di dalam hakikat sifat tersebut, maka hal ini tidaklah dikatakan tasybih, karena tasybih adalah perkongsian / kesyerikatan di dalam hakikat-hakikat sifat. Oleh sebab itu Ahlus sunnah wal Jama’ah menta’rif sifat-sifat Allah dengan rumusan dan kelaziman, bukan dengan had dan hakikatnya, berbeda dengan mereka (wahabi) yang menetapkan sifat-sifat Allah setelah mereka memahami sifat semisalnya pada makhluk-makhluk Allah.

Perkongsian atau Kesyerikatan (isytirak) di dalam makna kulli (pemahaman makna secara umum).


Kaum wahabi meyakini bahwa isytirak / perkongsian di Antara sifat-sifat Allah dan sifat-sifat makhluk-Nya adalah isytirak di dalam makna kullinya (pemahaman makna secara umumnya). Contoh, mata (‘ain) secara penamaannya umumnya (makna kulli) yaitu jarihah atau organ untuk melihat, mereka mengartikan ‘ain atau mata secara pemahaman umumnya yang dipahami tapi kemudian wahabi menetapkan makna ini bagi Allah dan juga bagi makhluk-Nya, sehingga makna ‘ain secara umum disepakati (isytirak) antara mata Allah dan mata makhluk-Nya. Makna kulli ini tidak ada wujudnya di luar dan hanya ada dalam pikiran maksudnya Penamaan ‘am atau Lafaz Mutlak tidak wujud di dunia yang nyata (hanya wujud dalam pikiran), yang wujud di dunia yang nyata adalah Lafaz Muqayyad atau Penamaan Khas yang di-qaid-kan dengan mausuf atau mudof ilaih tertentu. Dan menurut mereka hal itu bukanlah tasybih atau penyerupaan kepada Allah dengan makhluk-Nya.

Padahal mereka justru jatuh pada jurang tasybih, sama ada mereka sadar ataupu tidak. Karena pada hakekatnya mereka telah menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dari segi makna kulli-nya yang hanya ada dalam pikiran mereka. Sebab makna mata secara makna kulli-nya sama juga dengan makna hakekatnya (bukan majaz) yaitu jarihah atau organ yang digunakan untuk melihat. Ketika mata kita sandarkan kepada gajah, kucing, manusia, maka memang memiliki kaifiyyah (visualisi) yang berbeda-beda, yakni mata gajah besar, mata kucing kecil demikian mata manusia, namun makna kulli-nya adalah sama yaitu organ yang digunakan untuk melihat atau jarihah. Demikian juga ketika kaum wahabi menetapkan sifat mata secara hakekatnya (bukan majaz) maka ketika itu juga mereka menyamakan (mentasybih) Allah dengan makhluknya yakni Allah memiliki organ yang digunakan untuk melihat artinya Allah memiliki jarihah, walaupun kaifiyyahnya (visualisasinya) berbeda dari mata makhluk-Nya. Dan pada hakekatnya mereka hanya meniadakan atau menafikan lafaz tasybih saja bukan maknanya dan telah menetapkan kaifiyyah sifat bagi Allah.

Kemudian makna kulli yang mereka pahami ini, menurut mereka tidak wujud di dunia nyata dan hanya wujud di dalam pikiran saja. Pemahaman semacam ini hanya muncul dari angan-angan mereka saja tanpa ada sandaran dalil sama sekali baik naqli maupun hissi. Kerana ketika mereka mengucapkan Allah punya mata secara makna kulli-nya (pemahaman mata secara umumnya), maka sama saja mengatakan Allah punya mata sebagaimana makhluk-Nya punya mata. Tapi wahabi enggan mengatakan mata seperti mata makhluk-Nya, kerana kata mereka makna kulli tidak wujud di dunia nyata dan hanya wujud dalam pikiran saja. Di sinilah mereka sudah jatuh pada tasybih itu sendiri, mereka telah menetapkan bagi Allah makna sangkaan yang diciptakan pikiran mereka melalui khayalan mereka. Sehingga mereka telah membicarakan lebih dalam tentang Allah dengan menetapkan perkara-perkara khayalan pikiran mereka. Kerana mereka telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan Allah tidaklah dicapai dengan khayalan. Bagaimana mungkin Allah mengkhithab kita dengan perkara khayalan seperti ini ? padahal pemahaman semacam ini pun tidak dikenal oleh orang Arab…

Imam Dzun Nun al-Mashri mengatakan :
ﻣﻬﻤﺎ ﺗﺼﻮّﺭ ﻓِﻲ ﻭﻫْﻤﻚ، ﻓﺎﻟﻠﻪ ﺑﺨﻼﻑ ﺫﻟﻚ
“ Kapan saja tergambar dalam angan-anganmu, maka Allah berbeda dari itu “[4]

Abu Manshur al-Baghdadi juga meriwayatkan dari imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan :
مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك
“ Kapan saja tergambar dalam hatimu, maka Allah berbeda dari hal itu “

Hal yang sama juga dikatakan oleh Abu Abdillah ‘Amr bin Utsman al-Makki :

ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺭﺣﻤﻚ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻛﻞ ﻣﺎ ﺗﻮﻫﻤﻪ ﻗﻠﺒﻚ ﺃﻭ ﺭﺳﺦ ﻓﻲ ﻣﺠﺎﺭﻱ ﻓﻜﺮﺗﻚ ﺃﻭ ﺧﻄﺮ ﻓﻲ ﻣﻌﺎﺭﺿﺎﺕ ﻗﻠﺒﻚ ﻣﻦ ﺣﺴﻦ ﺃﻭ ﺑﻬﺎﺀ ﺃﻭ ﺇﺷﺮﺍﻑ ﺃﻭ ﺿﻴﺎﺀ ﺃﻭ ﺟﻤﺎﻝ ﺃﻭ ﺷﺒﺢ ﻣﺎﺛﻞ ﺃﻭ ﺷﺨﺺ ﻣﺘﻤﺜﻞ ﻓﺎﻟﻠﻪ ﺑﺨﻼﻑ ﺫﻟﻚ ﻛﻠﻪ ﺑﻞ ﻫﻮ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻈﻢ ﻭﺃﺟﻞ ﻭﺃﻛﻤﻞ ﺃﻟﻢ ﺗﺴﻤﻊ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻴﺲ ﻛﻤﺜﻠﻪ ﺷﻲﺀ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻛﻔﻮﺍ ﺃﺣﺪ ﺃﻱ ﻻ ﺷﺒﻪ ﻭﻻ ﻧﻈﻴﺮ ﻭﻻ ﻣﺴﺎﻭﻱ ﻭﻻ ﻣﺜﻞ ﻭﻗﻒ ﻋﻨﺪ ﺧﺒﺮﻩ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﺴﻠﻤﺎ ﻣﺴﺘﺴﻠﻤﺎ
“ Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya apa yang dibayangkan oleh hatimu, atau mengakar di dalam peredaran pemikiranmu atau terlintas dalam sodoran-sodoran hatimu berupa kebagusan, kehormatan, kemuliaan, terang, indah, sosok hantu, atau sosok orang, maka Allah berbeda dari itu semua. Bahkan Allah Ta’ala lebih Agung, lebih Mulia dan lebih Indah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala  “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi “ dan firman Allah Ta’ala “ Katakanlah Allah itu Maha Esa “ artinya Allah tidak memiliki syabih (serupa dalam kaifiyat), nadzhir (serupa dalam bentuk) dan musawi (serupa dalam kummiyyah) dan mitsl (serupa dalam semua hal). Berhenti ketika mendengar khobar tentang Dzat-Nya dengan pasrah dan tunduk . “[5]

Gambarannya seperti ini :


Ketika seseorang melihat kepada mata manusia, mata kucing, mata singa, mata burung dan mata gajah, maka pikiran menangkap bahwa semua mata yang disebutkan tadi memiliki isytirak (persekutuan) yang nyata (bukan tidak wujud) antara semuanya yaitu bahwa semua mata itu adalah organ untuk melihat dan menangkap yang dilihat, tentunya dengan kekhususan-kekhususan masing-masing ketika disandarkan, ditakhsish atau ditaqyid. Misal mata burung bentuk organnya kecil, sedangkan mata gajah bentuk ogannya besar dan semisalnya…

Dan setiap mata memiliki kaifiyyah kharijiyyah (visualisasi yang nyata) yang berbeda dari mata yang lainnya dan memiliki kadar (ukuran) yang juga dimiliki oleh mata yang lainnya dan inilah oleh wahabi yang mereka sebut “ Makna asal “. Yakni bahwa di alam nyata ini ada ukuran mata yang setiap makhluk berisytirak (bersekutu) dan ada ukuran mata yang masing-masing makhluk berbeda. Dan ukuran isytirak (al-qadr al-musytarak) mata ini adalah makna hakikat bagi lafadz ‘ain (mata), sedangkan makna hakikat di dalam nyata ini tidak lepas dari kaifiyyat (visualisasi) nya. Siapapun orangnya ketika melihat mata suatu makhluk, maka akan melihat apa yang menjadi perbedaan dari mata yang lainnya, meskipun makna mata secara umum didapati bagi setiap makhluk yang memiliki mata yaitu organ untuk melihat. Dan sesuatu yang menjadi perbedaan dari mata yang lainnya disebut kaifiyyah.

Ketika seseorang melihat mata kucing dan mata gajah, maka taqyid dan idhofah (kucing dan gajah) itu telah menafikan tasybih (penyerupaan) dari setiap sisinya akan tetapi tidak menafikan dari sebagian sisi lainnya. Maka ketika kita sandarkan mata pada kucing, akan menafikan secara muthlaq dengan mata gajah, karena mata kucing bentuknya kecil sedangkan mata gajah bentuknya besar, namun tidak menafikan makna hakikat mata itu sendiri di antara kucing dan gajah yaitu organ untuk melihat. Maka mata kucing adalah organ untuk melihat demikian juga mata gajah adalah organ untuk melihat, mata manusia, mata singa, mata burung dan seterusnya.

Maka barangsiapa yang mensibatkan mata secara makna hakikatnya (makna kulli), sungguh berarti dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya di dalam makna hakikat yang musytarak walaupun ia menafikan tasybih pada kaifiyat-Nya. Inilah sebenar-benarnya tasybih (penyerupaan) kepada Allah dengan makhluk-Nya.

Rumus wahabi :
Al-Qadr al-Musytarak : Makna Hakikat = Bukan Tasybih.
Rumus Aswaja :
Al-Qadr al-Musytarak : Fil Lafadz = Bukan Tasybih

Dalil dan bukti :

Sesuatu di luar pikiran itu, dipahami :

1. Adakalanya hanya ada makna kulli-nya saja yang (musytarak) tanpa kaifiyyat.
2. Adakalanya hanya ada kaifiyyat saja tanpa makna musytarak.
3. Ada dengan makna kulli dan melazimkan adanya kaifiyyat yang mengikutinya.
Yang pertama jelas bathil, karena pemahaman seperti itu berkonsekuensi tidak adanya perbedaan sifat dalam makna kulli-nya pada segala sesuatu. Contoh, “ semua mata itu sama tanpa adanya perbedaan sifatnya “. Jelas ini bathil dan bertentangan secara tabiat dan fisik, sebab meskipun mata kucing, gajah dan manusia itu sama dalam makna kulli-nya (pemahaman makna mata pada umumnya) yaitu organ untuk melihat akan tetapi ia pasti memiliki kaifiyyat yang berbeda-beda.

Yang kedua juga bathil, karena setiap kaifiyyat tidak akan berdiri dengan dzatnya sendiri, ia pasti membutuhkan tempat untuk berdiri. Sama ada kafiyyat itu berupa kummiyyah seperti merunduk, atau satuan dan fisik seperti rasa panas dan dingin, atau pun bersifat jiwa seperti rasa sakit dan lezat atau kaifiyyah lainnya.

Maka jelas yang ketiga lah yang haq dan benar yaitu setiap sesuatu di alam nyata ini (bukan dalam pikiran/khayalan) terdiri dari ukuran yang mengumpulkan di antara semuanya (al-Qadr al-Musytarak) dan juga kaifiyyat yang membedakan masing-masingnya. Ini semua sudah tetap dalam koridor  fisik dan nyata. Ketika akal melihat suatu makhluk yang memiliki al-qadr al-musytarak, maka secara spontanitas akan menuntut mencari seuatu yang membedakannya dari makhluk lainnya yakni bahwa makna kulli itu melazimkan adanya isytirak fil ma’na.

Contoh, ketika Zaid melihat mata seekor kucing dan burung, maka Zaid paham bahwa kucing dan burung juga sama-sama memiliki mata. Kemudian secara tabiat yang sehat dan wajar, Zaid akan memahami bahwa mata kucing dan burung itu adalah organ untuk melihat. Dan tidak mungkin (mustahil) memahami makna mata kucing danmata burung dengan makna yang tidak wujud di dunia nyata dan hanya wujud di dalam khayalan atau pikiran saja. Ini bertentangan dengan fisik dan alam nyata. Nah, wahabi memiliki pemahaman bahwa Allah memiliki mata dengan makna kulli (pemahaman mata secara umum) tapi mereka mengatakan bahwa pemahaman makna kulli hanya ada dalam pikiran saja bukan dalam dunia nyata secara fisik. Ini jelas bathil dan melanggar sunnah (ketentuan) Allah  sendiri.

Kesimpulannya : Menetapkan perkongsian antara Allah dan makhluk-Nya di dalam makna kulli yang ada dalam pikiran adalah sama saja menetapkan makna nyatanya di luar pikiran. Meskipun makna kulli di dalam pikiran membedakan kaifiyyatnya, akan tetapi kelazimannya di luar pikiran pasti ada dan wujud. Kaifiyyah inilah yang tidak boleh berkongsi dari segala sisinya.

Oleh sebab itu, al-Qadr al-Musytarak antara sifat Allah dan sifat makhluk-Nya hanyalah pada lafadznya saja bukan pada maknanya demi menghindari menyerupakan Allah kepada makhluk-Nya.  Karena Allah telah berfirman dengan tegas :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
 “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi “ (Q.S. as-Syura:11)

Makna zahir.

Ketika seorang ayah mengajarkan anaknya, ia mengisyaratkan kepada matanya, lalu berkata “ ini mata “, kemudian ia mengisyaratkan kepada mata anaknya dan berkata : “ ini mata “. Walaupun mata ayah dan anaknya berbeda dalam visusalisasinya (kaifiyyahnya), maka anak akan memahami bahwa matanya dan mata ayahnya sama-sama organ yang manfaatnya untuk melihat. Maka tatkala anak itu melihat mata kucing dan gajah, kemudian ayahnya menanyakan hal itu, maka anak itu akan menajwab : “ Itu mata “. Namun saat sang ayah berbicara “ Mata Air “, sang anak akan bertanya : “ Apakah air punya mata ? “ maka pemahaman sang anak saat itu menjadi samar, kerana yang ia tahu selama ini adalah makna mata secara zahir dan hakekatnya yaitu organ yang digunakan untuk melihat. Itulah gambaran zahir dan hakekat dari lafaz mata yang sesungguhnya.

Ketika kaum wahabi menyandarkan lafaz mata kepada Allah secara zahir dan hakekatnya, secara spontanitas akan dipahami Allah memiliki organ yang digunakan untuk melihat walaupun menyebut kaifiyyah mata Allah berbeda. Justru ini merupakan tasybih besar (penyerupaaan yang besar) terhadap Allah dengan makhluk-Nya ketimbang mengatakan Allah ada kaifiyyah yang tidak diketahui. Sebab menetapkan kaifiyyah Allah yang berbeda dengan kaifiyyah makhluk, ini taysbih ringan ketimbang menetapkan organ atau anggota (jarihah) bagi Allah yang merupakan tasybih besar terhadap Allah dengan makhluk-Nya.  Naudzu billahi min dzaalik..

Pertanyaan untuk wahabi :

Apa makna kulli yang berkongsi (musytarak) bagi sifat ‘ain (mata) ?? maka adakalanya mereka menjelaskan makna ini atau menyembunyikannya..

Jika mereka berani menjelaskannya, maka penjelasannya tidak lepas dari dua hal berikut :

1. Adakalanya mereka menjelaskan makna kulli sesuai makna secara bahasa yang dikenal, maka mereka terjerumus pada tasybih dan setelahnya tidak akan berfaedah apapun penetapan mereka terhadap kaifiyyahnya yang berbeda.
2. Adakalanya mereka menjelaskan dengan makna yang bukan makna secara bahasa yang dikenal, maka mereka pun telah jatuh pada takwil yang mereka sebut ta’thil.

Kalau mereka menyembunyikannya dan tidak mau menjelaskannya, maka sikap diam dan menyembunyikan mereka itu karena dua sebab :

1. Karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka jatuh pada tafwidh yang mereka sebut dengan tajhil (pembodohan). Dan tafwidh ini juga dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal, beliau mengatakan :

نؤمن بها ونصدق بها ولا كيف ولا معنى ولا نرد منها شيئا ونعلم أن ما جاء به الرسول حق إذا كانت بأسانيد صحاح ولا نرد على رسول الله قوله ولا يوصف الله تعالى بأكثر مما وصف به نفسه أو وصفه به رسوله بلا حد ولا غاية ليس كمثله شيء وهو السميع البصير ولا يبلغ الواصفون صفته وصفاته منه ولا نتعدى القرآن والحديث فنقول كما قال ونصفه كما وصف نفسه ولا نتعدى ذلك نؤمن بالقرآن كله محكمه ومتشابهه ولا نزيل عنه صفة من صفاته لشناعة شنعث
“ Kami beriman dengannya dan membenarkannya tanpa membicarakan kaifiat dan makna dan kami tidak menolak suatu pun  daripadanya dan kita tahu bahawa apa yang datang daripada Rasul adalah benar jika sanadnya sahih dan kita tidak akan membantah Rasulullah dalam perkataan baginda dan tidaklah disifatkan Allah melebihi daripada apa yang Dia sendiri sifatkan pada diriNya atau yang RasulNya sifatkan tanpa diberikan batasan (kaifiat) dan penghujung , “Tiada suatu pun menyamaiNya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [Maksud Surah al-Syura: 11], dan tidaklah dapat dicapai oleh mereka yang memhami sifat akan sifat-sifatNya dan sifat-sifatNya itu daripadaNya dan kita tidak akan melampaui al-Quran dan al-Hadis maka kami katakan seperti Dia katakan dan kami sifatkan dia seperti mana Dia sifatkan diriNya dan kita beriman dengan al-Quran seluruhnya Muhkam dan MutasyabihNya dan tidaklah kita hilangkan satu sifat daripada sifat-sifatNya kerana kekeliruan yang ditimbulkan”.[6]

2. Karena mereka tidak paham dan sulit memahami teks-teks yang ada tentang ini. Maka mereka telah bersikap taqiyyah, karena ini semacam tafwidh yang tercela menurut mereka. Diamnya mereka ini bertentangan dengan sikap mereka yang menyatakan keharusan (kewajiban) membawa nash shifat kepada makna-makna peletakannya sesuai bahasa Arabnya. Dan bertentangan dengan sikap mereka sendiri yang mewajibkan manusia untuk mengetahui nash-nash shifat tersebut. Bagaimana mungkin mereka mewajibkan suatu perkara kepada manusia yang mereka sendiri tidak memahaminya apalagi memahamkannya pada manusia ?

Seandainya seorang penuntut ilmu datang pada mereka dan meminta untuk menjelaskan makna shifat ‘ain (mata), maka apa yang akan mereka jawab ?? apakah mereka akan menjawab, “ Makna sifat ‘ain ada dalam dirimu dan kamu tidak mengetahuinya “. Maka apa yang menjadikan mereka tahu bahwa yang ada dalam diri si penuntut ilmu itu sahih atau bathil ??

Bahkan sebagian pendahulu mereka berkeyakinan bahwa menetapkan sifat Allah  adalah setelah memahami hal yang semisalnya dari makhluk kemudian menetapkan kaifiyyah yang berbeda dengan kaifiyyah makhluk-Nya[7]. Padahal suatu yang semisaldari makhluk itu sangat lah jelas berupa organ atau jarihah, maka diamnya mereka hanyalah suatu bentuk pelarian semata, padahal kita tidak menanyakan kaifiyyahnya…

Bukankah kebanyakan wahabi dengan terang-terangan membawa sifat-sifat khobariyyah kepada makna sepatutnya dalam bahasa Arab ? mereka menafsrikan Istiwa dengan istiqrar, mereka menafsirkan nuzul dengan intiqal dari atas ke bawah ? maka diamnya mereka bertentangan dengan sikap mereka ini…kenapa pula mereka tidak diam dalam semua hal ini ?

3. karena takut dari ketahuannya mereka berlaku tasybih dan tajsim. Ini jelas bertentangan dengan keberanian ilmiyyah yang wajib bagi setiap orang memilikinya dalam membicarakan bab ini.


Dalam penjelasan yang telah berlalu, dapat kita ketahui bahwasanya mereka menetapkan makna musytarak (makna yang berkongsi) antara Allah dan makhluk, dan mereka memandang bahwa makna hakikat atau makna asal juga ditetapkan bagi Allah. Misal sifat ‘ain (mata). Makna musytarak mata adalah organ untuk melihat (jarihah) demikian juga makn hakikatnya atau makna asal adalah organ untuk melihat. Maka pemahaman mereka ini sudah pasti berkonsekuensi menetapkan kadar perkongsian di luar pikiran, akan tetapi mereka keras kepala dan berkhayal bahwa mereka telah menghindari bahaya dan berkata, bahwa segala sesuatu memiliki kekhususuan tersendiri sehingga tidaklah sesuatu itu didapati kecuali ia dita’yin dan ditaqyid. Padahal sebenarnya kekhususan itu adalah kaifiyyah yang mengikuti hakikatnya, mereka menafikan persekutuan Allah dengan makhluk-Nya dalam kaifiyatnya, akan tetapi di samping itu mereka menetapkan makna hakikatnya atau makna asalnya lalu menyerahkan kaifiyyahnya yang pantas bagi Allah.

Adapun Ahlus sunnah dari ulama salaf dan ulama setelah mereka menafikan isytirak / perkongsian antara Allah dan makhluk-Nya di dalam makna hakikatnya disertai menafikan asal kaifiyahnya dari Allah Ta’ala. Karena kaifiyyah dari sifat Allah dinafikan, sedangkan kaum wahabi menyerhakan kaifiyyah Allah setelah mereka menetapkan makna hakikatnya yang berkongsi itu, bukanlah penafian tapi hanyalah untuk perkongsian muthlak dari segala sisinya. Oleh sebab itu jika mereka mengatakan, “ Kami menetapkan bagi Allah sifat mata secara hakikatnya yang tidak seperti mata makhluk-Nya “, maka ucapan mereka ini tidak lah menafikan tasybih antara Allah dengan makhluk-Nya  dari semua sisi, akan tetapi mereka hanya bermaksud menafikan tasybih dari kaifiyat mata saja dengan disertai menetapkan tasybih yang besar dalam hakikatnya itu. Maka tidaklah berguna ucapan mereka “ Mata yang hakikatnya tanpa tasybih “, karena mereka telah masuk ke dalam tasybih yang besar yaitu isytirak di dalam makna hakikatnya atau makna asalnya. Pada hakekatnya mereka tidak menafikan tasybih secara muthlak dan sebenarnya mereka hanya menafikan tamtsil saja bukan tasybih secara keseluruhan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Utsaimin secara terang-terangan :

نفي التشبيه على الإطلاق لا يصح ؛ لأن كل موجودين فلا بد أن يكون بينهما قدر مشترك يشتبهان فيه ، ويتميز كل واحد بما يختص به
“ Menafikan tasybih secara muthlaq tidaklah benar, karena setiap yang wujud wajib memiliki kadar perkongsian di antara keduanya yang serupa, dan memiliki kekhususan tersendiri dari maisng-masing “[8]

Ia juga mengatakan di dalam kitab lainnya :

وإن أردتَ التشبيه المطلق من كلّ وجه فهذا لغو , بمعنى أنّ الله تعالى لا يشابه الخلق في أي شيء فهذا غلط! , لأنه لا بد من الاشتراك في أصل المعنى)
“ Jika kamu bermaksud tasybih secara muthlaq dari segala arah, maka itu kesia-siaan, maknanya sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menyerupai makhluk-Nya dalam segala sesuatu, maka ini adalah salah, karena Allah Ta’ala wajib memiliki perkongsian dalam makna asalnya “.[9]

Kita berlindung dari pemahaman cacat semacam itu, al Imam ath-Thahawi mengatakan :

ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر
“ Barangsiapa yang mensifati Allah dengan makna-makna manusia, maka ia telah kafir “.[10]

Imam Ahmad juga berkata :
مَنْ قَالَ جِسْمٌ لاَ كَالْأَجْسَامِ كَفَرَ
“ Barangsiapa yang berkata “ Allah memiliki jisim yang tidak seperti jisim lainnya, maka ia telah kafir “. [11]

Imam asy-Syathibi mengatakan :

ومثاله في ملة الاسلام مذهب الظاهرية في اثبات الجوارح للرب المنزه عن النقائص من العين واليد والرجل والوجه المحسوسات والجهة وغير ذالك من الثابت للمحدثات
“ Dan misalnya (ahli bid’ah yang menyimpang dari ushul) di dalam agama Islam adalah madzhab Dhzahiriyyah (kelompok literalisme) yang menetapkan anggota tubuh (organ tubuh) bagi Allah yang Maha Suci dari segala kekurangan, berupa mata, tangan, kaki, wajah yang bersifat indrawi, arah dan selainnya dari penetapan hal-hal yang baru “

No comments :

Post a Comment