#Label1 .widget-content{ height:200px; width:auto; overflow:auto; }

Sunday 15 March 2015

Ideologi Mu’tazilah: Ideologi sesat yang diterapkan Hizbut Tahrir Indonesia

Ideologi Mu’tazilah
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, lahir gerakan revivalis yang dipelopori oleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani yang menggagas ideologi Qadariyah, yang berpijak pada pengingkaran qadha’ dan qadar Allah. Ideologi ini menjadi embrio lahirnya sekte Mu’tazilah. Belakangan ideologi pengingkaran qadha’ dan qadar ala Mu’tazilah ini juga diikuti oleh Taqiyyuddin al-Nabhani, perintis Hizbut Tahrir. Dalam bukunya, al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah, al-Nabhani berkata:
وَهَذِهِ اْلأَفْعَالُ ـ أَيْ أَفْعَالُ اْلإِنْسَانِ ـ لاَ دَخْلَ لَهَا بِالْقَضَاءِ وَلاَ دَخْلَ لِلْقَضَاءِ بِهَا، ِلأَنَّ اْلإِنْسَانَ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهَا بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ، وَعَلَى ذَلِكَ فَإِنَّ اْلأَفْعَالَ اْلاِخْتِيَارِيَّةَ لاَ تَدْخُلُ تَحْتَ الْقَضَاءِ.
Semua perbuatan ikhtiyari manusia ini, tidak ada kaitannya dengan ketentuan/qadha’ dan qadha’ juga tidak ada kaitan dengannya, karena manusialah yang melakukannya dengan kemauan dan ikhtiyarnya, oleh karena itu perbuatan ikhtiyari manusia tidak masuk dalam lingkup qadha’ Allah.
Dalam bagian lain, Taqiyyuddin al-Nabhani juga mengatakan:
فَتَعْلِيْقُ الْمَثُوْبَةِ أَوِ الْعُقُوْبَةِ بِالْهُدَى وَالضَّلاَلِ يَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الْهِدَايَةَ وَالضَّلاَلَ هُمَا مِنْ فِعْلِ اْلإِنْسَانِ وَلَيْسَا مِنَ اللهِ.
Mengkaitkan pahala dan siksa dengan petunjuk dan kesesatan menjadi dalil bahwa hidayah (petunjuk) dan kesesatan itu sebenarnya termasuk perbuatan manusia dan bukan datang dari Allah.


Pernyataan al-Nabhani di atas memberikan dua kesimpulan. Pertama, perbuatan ikhtiyari manusia tidak ada kaitannya dengan ketentuan atau qadha’ Allah, dan kedua, hidayah dan kesesatan itu adalah perbuatan manusia sendiri dan bukan dari Allah. Demikian ini jelas bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dan akal sehat. Dalam sekian banyak ayat berikut ini:
ٱلَّذِى لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٟوَٟتِ وَٱلْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًۭا وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٌۭ فِى ٱلْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍۢ فَقَدَّرَهُۥ تَقْدِيرًۭا ﴿٢﴾

Dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. al-Furqan: 2)
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ ﴿٩٦﴾
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. al-Shaffat: 96)
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٟهُ بِقَدَرٍۢ ﴿٤٩﴾
Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS. al-Qamar : 49)
Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah SWT. Kata “segala sesuatu” dalam ayat tersebut mencakup segala apa yang ada di dunia ini seperti benda, sifat-sifat benda seperti gerakan dan diamnya manusia, serta perbuatan yang disengaja maupun yang terpaksa. Dalam realita yang ada, perbuatan ikhtiyari manusia lebih banyak dari pada perbuatan non ikhtiyari/yang terpaksa. Seandainya perbuatan ikhtiyari manusia itu adalah ciptaan manusia sendiri, tentu saja perbuatan yang diciptakan oleh manusia akan lebih banyak dari pada perbuatan yang diciptakan oleh Allah. Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa pernyataan al-Nabhani di atas merupakan penolakan terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadits.
Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
بَلِ ٱتَّبَعَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم بِغَيْرِ عِلْمٍۢ ۖ فَمَن يَهْدِى مَنْ أَضَلَّ ٱللَّهُ ۖ وَمَا لَهُم مِّن نَّٟصِرِينَ ﴿٢٩﴾
Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? (QS. al-Rum: 29)
Allah SWT juga berfirman tentang perkataan Nabi Musa:
إِنْ هِىَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَن تَشَآءُ وَتَهْدِى مَن تَشَآءُ ۖ
Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. (QS. al-A’raf: 155)
Allah SWT juga berfirman:
وَمَا كُنتَ تَرْجُوٓا۟ أَن يُلْقَىٰٓ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٟبُ إِلَّا رَحْمَةًۭ مِّن رَّبِّكَ ۖ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Qashash: 56)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa hidayah dan kesesatan itu berasal dari Allah, bukan dari perbuatan manusia. Pernyataan al-Nabhani di atas juga bertentangan dengan ayat berikut ini:
وَنُقَلِّبُ أَفْـِٔدَتَهُمْ وَأَبْصَٟرَهُمْ
Dan (begitu pula) kami memalingkan hati dan penglihatan mereka. (QS. al-An’am : 110)
Ayat ini menegaskan perbuatan hati dan perbuatan lahiriah manusia termasuk perbuatan Allah. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Hizbut Tahrir yang berpandangan bahwa hidayah dan kesesatan adalah perbuatan manusia, dan bukan dari Allah. Demikianlah sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa perbuatan ikhtiyari manusia serta hidayah dan kesesatan merupakan perbuatan Allah dan terjadi atas qadha’ dan qadar Allah.
Pandangan Hizbut Tahrir juga bertentangan dengan hadits-hadits Nabi saw. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ J قَالَ:كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ.
Ibn Umar berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Segala sesuatu itu terjadi dengan ketentuan Allah, sampai kebodohan dan kecerdasan.”
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: إِنَّ اللهَ صَانِعٌ كُلَّ صَانِعٍ وَصَنْعَتَهُ.
Hudzaifah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah yang menciptkan semua pelaku dan perbuatannya.”
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ J قَالَ: الْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِنْ مَرِضُوْا فَلاَ تَعُوْدُوْهُمْ، وَإِنْ مَاتُوْا فَلاَ تَشْهَدُوْهُمْ.
Ibn Umar meriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda: “Qadariyah itu Majusinya umat ini, apabila mereka sakit maka janganlah menjenguk mereka dan apabila mereka meninggal, maka janganlah menyaksikan jenazah mereka.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk kebodohan, kecerdasan, setiap makhluk hidup dan semua perbuatannya. Dengan pandangan di atas, Hizbut Tahrir juga menyalahi hadits shahih berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J :صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِيْ لاَ نَصِيْبَ لَهُمَا فِي اْلإِسْلاَمِ: الْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ.
Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Dua golongan dari umatku yang tidak memiliki bagian dalam Islam, yaitu Qadariyah dan Murji’ah.”
Hadits ini sangat tegas dalam mengkafirkan golongan Qadariyah yang berpandangan bahwa perbuatan manusia diciptakannya sendiri dengan kemauan dan ketentuannya. Menurut sebagian ulama, pandangan ini persis dengan pandangan Hizbut Tahrir yang menanggalkan Islam, sebagaimana ular yang menanggalkan kulitnya.
Secara rasional, pandangan Hizbut Tahrir juga tidak dapat dinalar dengan akal yang sehat. Berdasarkan pandangan Hizbut Tahrir, bahwa perbuatan ikhtiyari manusia itu adalah ciptaannya sendiri, berarti Allah itu menjadi pihak yang kalah dan tidak berdaya menghadapi hamba-hambanya yang menciptakan berbagai kemaksiatan di dunia ini tanpa kehendak-Nya. Sedangkan Allah adalah pihak yang selalu menang berdasarkan firman-Nya:
وَٱللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰٓ أَمْرِهِۦ وَلَٟكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٢١﴾
Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS. Yusuf: 21)
Berdasarkan asumsi Hizbut Tahrir yang mengatakan bahwa hidayah dan kesesatan adalah murni perbuatan manusia dan tidak datang dari Allah, berarti dalam kekuasaan Allah terdapat sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Hal ini tidak dapat dibenarkan oleh logika yang sehat. Segala yang terjadi di alam jagad raya ini semuanya berasal dari qadha’, qadar, qudrah dan kehendak Allah, baik maupun buruk.
Pandangan Hizbut Tahrir juga bertentangan dengan firman Allah:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٟلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَئ لَهُۥ ۖ وَبِذَٟلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
Katakanlah, “sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. al-An’am : 162-163)
Dalam kedua ayat di atas, Allah menyebutkan shalat dan ibadah yang merupakan perbuatan ikhtiyari manusia, lalu menyebutkan hidup dan mati yang bukan perbuatan ikhtiyari manusia, kemudian Allah menjadikan semuanya sebagai makhluk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Ayat tersebut pada dasarnya menyampaikan pesan begini,
“Katakanlah wahai Muhammad”,
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah makhluk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya.”
Namun Hizbut Tahrir menyelisihi ayat tersebut dan mengikuti Mu’tazilah dengan mengatakan bahwa semua perbuatan ikhtiyari manusia adalah ciptaan manusia sendiri dan dia yang memilikinya.
Pendekatan Ta’wil dan Ulama Salaf
Pendekatan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat telah dilakukan dan diajarkan oleh ulama salaf yang saleh. Akan tetapi Taqiyyuddin al-Nabhani mengingkari dan mengatakan bahwa pendekatan ta’wil tidak dikenal di kalangan ulama salaf.
Dalam hal ini, al-Nabhani mengatakan:
كَانَ التَّأْوِيْلُ أَوَّلَ مَظَاهِرِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ… وَكَانَ التَّأْوِيْلُ عُنْصُرًا مِنْ عَنَاصِرِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ وَأَكْبَرَ مُمَيِّزٍ لَهُمْ عَنِ السَّلَفِ.
Ta’wil [terhadap ayat-ayat mutasyabihat] merupakan fenomena yang pertama kali dimunculkan oleh para teolog. Jadi ta’wil itu merupakan salah satu unsur dan yang paling membedakan antara mereka dengan salaf.
Pernyataan al-Nabhani di atas menyimpulkan bahwa ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat pertama kali diperkenalkan oleh para teolog dan menjadi ciri khas utama yang membedakan antara para teolog dengan ulama salaf. Sudah barang tentu, pernyataan tersebut mengandung kerancuan dan kebohongan.
Pertama, pernyataan al-Nabhani tersebut dapat mengesankan bahwa di kalangan ulama salaf tidak ada ulama yang ahli dalam bidang teologi (ilmu kalam).
Kedua, pernyataan tersebut juga mengesankan bahwa ta’wil belum dikenal pada masa generasi salaf. Asumsi Hizbut Tahrir bahwa di kalangan generasi salaf tidak ada ulama yang ahli dalam bidang teologi adalah tidak benar.
Al-Imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Tamimi al-Baghdadi menegaskan bahwa teolog pertama dari generasi sahabat adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar.
Sedangkan teolog pertama dari generasi tabi’in adalah Umar bin Abdul Aziz, Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan al-Hasan al-Bashri. Kemudian al-Sya’bi, Ibn Syihab al-Zuhri, Ja’far bin Muhammad al-Shadiq dan lain-lain. Mereka sangat keras dalam membantah ajaran Qadariyah yang menjadi embrio lahirnya sekte Mu’tazilah, dan belakangan ideologi Mu’tazilah tersebut diikuti oleh Hizbut Tahrir.
Sedangkan asumsi bahwa ta’wil belum pernah dikenal pada masa generasi salaf juga tidak benar. Pendekatan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat telah dikenal sejak generasi sahabat dan ulama-ulama sesudah mereka.
Dalam konteks ini al-Imam Badruddin al-Zarkasyi berkata dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an:
(وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْوَارِدِ مِنْهَا -أي الْمُتَشَابِهَاتِ – فِي اْلآيَاتِ وَاْلأَحَادِيْثِ عَلىَ ثَلاَثِ فِرَقٍ: أَحَدُهَا: أَنَّهُ لاَ مَدْخَلَ لِلتَّأْوِيْلِ فِيْهَا، بَلْ تُجْرَى عَلىَ ظَاهِرِهَا، وَلاَ نُؤَوِّلُ شَيْئاً مِنْهَا، وَهُمُ الْمُشَبِّهَةُ. الثَّانِيَةُ: أَنَّ لَهَا تَأْوِيْلاً وَلَكِنَّا نُمْسِكُ عَنْهُ مَعَ تَنْزِيْهِ اعْتِقَادِنَا عَنِ الشَّبْهِ، وَالتَّعْطِيْلِ، وَنَقُوْلُ لاَ يَعْلَمُهُ إِلا اللهُ وَهُوَ قَوْلُ السَّلَفِ. وَالثَّالِثَةُ: أَنَّهَا مُؤَوَّلَةٌ وَأَوَّلُوْهَا عَلىَ مَا يَلِيْقُ بِهِ. وَاْلأَوَّلُ بَاطِلٌ – يَعْنِيْ مَذْهَبُ الْمُشَبِّهَةِ – وَاْلأَخِيْرَانِ مَنْقُوْلاَنِ عَنِ الصَّحَابَةِ) اهـ.
Para pakar berbeda pendapat tentang teks mutasyabihat dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh di-ta’wil, tetapi diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan kami tidak melakukan ta’wil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah (faham yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh dita’wil, tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan [Allah dengan makhluk-Nya] dan menafikan [sifat-sifat yang ada dalam teks-teks tersebut]. Kami berkeyakinan, bahwa ta’wil terhadap teks-teks tersebut hanya Allah yang mengetahuinya. Mereka adalah aliran salaf.
Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut harus dita’wil. Mereka men-ta’wil-nya sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah.
Madzhab yang pertama, yaitu madzhab Musyabbihah adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi saw.
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani. Ia berkata dalam kitabnya Irsyad al-Fuhul:
اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ: فِيْمَا يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ، وَهُوَ قِسْمَانِ، أَحَدُهُمَا، أَغْلَبُ الْفُرُوْعِ، وَلاَ خِلاَفَ فِيْ ذَلِكَ. وَالثَانِيْ، اْلأُصُوْلُ كَالْعَقَائِدِ وَأُصُوْلِ الدِّيَانَاتِ وَصِفَاتِ الْبَارِيْ عَزَّ وَجَلَّ، وَقَدِ اخْتَلَفُوْا فِيْ هَذَا الْقِسْمِ عَلىَ ثَلاَثَةِ مَذَاهِبَ: اْلأَوَّلُ: أَنَّهُ لاَ مَدْخَلَ لِلتَّأْوِيْلِ فِيْهَا، بَلْ تُجْرَى عَلىَ ظَاهِرِهَا وَلاَ يُؤَوَّلُ شَيْءٌ مِنْهَا، وَهَذَا قَوْلُ الْمُشَبِّهَةِ. وَالثَّانِيْ: أَنَّ لَهَا تَأْوِيْلاً وَلَكِنَّا نُمْسِكُ عَنْهُ، مَعَ تَنْزِيْهِ اعْتِقَادِنَا عَنِ التَّشْبِيْهِ وَالتَّعْطِيْلِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ ) ، قَالَ ابْنُ بُرْهَان وَهَذَا قَوْلُ السَّلَفِ… وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ: أَنَّهَا مُؤَوَّلَةٌ. قَالَ ابْنُ بُرْهَان، وَاْلأَوَّلُ مِنْ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ بَاطِلٌ، وَاْلآخِرَانِ مَنْقُـْولاَنِ عَنِ الصَّحابَةِ، وَنُقِلَ هَذَا الْمَذْهَبُ الثَّالِثُ عَنْ عَلِيٍّ وَاْبنِ مَسْعُوْدٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ) اهـ.
Bagian kedua, tentang teks yang dapat dita’wil, yaitu ada dua bagian.
Pertama, teks yang berkaitan dengan furu’ (cabang dan ranting) yang sebagian besar memang dita’wil, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh kalangan ulama.
Kedua, teks-teks yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok agama) seperti akidah, dasar-dasar agama dan sifat-sifat Allah SWT.
Para pakar berbeda pendapat mengenai bagian kedua ini menjadi tiga aliran.
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh di-ta’wil, tetapi diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan tidak boleh melakukan ta’wil apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah (faham yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Kedua, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh dita’wil, tetapi kami menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari menyerupakan [Allah dengan makhluk-Nya] dan menafikan [sifat-sifat yang ada dalam teks-teks tersebut], karena firman Allah, “tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”. Ibn Burhan berkata, ini adalah pendapat ulama salaf…
Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut harus dita’wil.
Ibn Burhan berkata, madzhab yang pertama, dari ketiga madzhab ini adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi saw. Bahkan madzhab yang ketiga ini diriwayatkan dari Sayidina Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan Ummu Salamah.
Pernyataan al-Zarkasyi dan al-Syaukani di atas memberikan kesimpulan bahwa pendekatan ta’wil telah dikenal dan diajarkan oleh generasi salaf yang saleh termasuk para sahabat Nabi saw yang menjadi panutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Berikut ini beberapa riwayat dari ulama salaf yang melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
Ibn Abbas
Terdapat banyak riwayat dari Ibn Abbas, bahwa ia melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, antara lain adalah, Kursi [QS. 2 : 255] di-ta’wil dengan ilmunya Allah, datangnya Tuhan [QS. 89 : 22] di-ta’wil dengan perintah dan kepastian Allah, a’yun (beberapa mata) [QS. 11 : 37] di-ta’wil dengan penglihatan Allah, aydin (beberapa tangan) [QS. 51 : 47] di-ta’wil dengan kekuatan dan kekuasaan Allah, nur (cahaya) [QS. 24 : 35] di-ta’wil dengan Allah yang menunjukkan penduduk langit dan bumi, wajah Allah [QS. 55 : 27] di-ta’wil dengan wujud dan Dzat Allah, dan saq (betis) [QS. 68 : 42] di-ta’wil dengan kesusahan yang sangat berat.
Mujahid dan al-Suddi Al-Imam
Al-Imam Mujahid dan al-Suddi, dua pakar tafsir dari generasi tabi’in juga men-ta’wil lafal janb [QS. 39 : 56] dengan perintah Allah.
Sufyan al-Tsauri dan Ibn Jarir al-Thabari
Al-Imam Ibn Jarir al-Thabari menafsirkan istiwa’ [QS. 2 : 29] dengan memiliki dan menguasai, bukan dalam artian bergerak dan berpindah. Sedangkan al-Imam Sufyan al-Tsauri men-ta’wil-nya dengan berkehendak menciptakan langit.
Malik bin Anas Al-Imam
Malik bin Anas, juga men-ta’wil turunnya Tuhan dalam hadits shahih pada waktu tengah malam dengan turunnya perintah-Nya, bukan Tuhan dalam artian bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Ahmad bin Hanbal
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, melakukan ta’wil terhadap beberapa teks yang mutasyabihat, antara lain ayat tentang datangnya Tuhan [QS. 89 : 22] di-ta’wil dengan datangnya pahala dari Tuhan, bukan datang dalam arti bergerak dan berpindah.
Al-Hasan al-Bashri
Al-Imam al-Hasan al-Bashri, juga melakukan ta’wil terhadap teks tentang datangnya Tuhan [QS. 89 : 22] dengan datangnya perintah dan kepastian Tuhan.
Al-Bukhari
Al-Imam al-Bukhari, pengarang Shahih al-Bukhari, juga melakukan ta’wil terhadap beberapa teks yang mutasyabihat, antara lain teks tentang tertawanya Allah dalam sebuah hadits dita’wilnya dengan rahmat Allah, dan wajah Allah [QS. 28 : 88] dita’wilnya dengan kerajaan Allah dan amal yang dilakukan semata-mata karena mencari ridha Allah.
Demkianlah, beberapa riwayat tentang ta’wil yang dilakukan oleh ulama salaf yang saleh sejak generasi sahabat. Data-data tersebut menunjukkan bahwa ta’wil yang dilakukan oleh Ahlussunnah Wal-Jama’ah merupakan pemahaman terhadap teks-teks mutasyabihat sesuai dengan pemahaman ulama salaf yang saleh.
Qadar dan Ilmu Allah
Taqiyyuddin al-Nabhani berkata:
قَدْ وَرَدَ اْلإِيْمَانُ بِالْقَدَرِ فِيْ حَدِيْثِ جِبْرِيْلَ فِيْ بَعْضِ الرِّوَايَاتِ، فَقَدْ جَاءَ قَالَ: وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، إِلاَّ أَنَّهُ خَبَرُ آحَادٍ، عِلاَوَةً عَلىَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْقَدَرِ هُنَا عِلْمُ اللهِ، وَلَيْسَ الْقَضَاءَ وَالْقَدَرَ الَّذِيْ هُوَ مَوْضِعُ خِلاَفٍ فِيْ فَهْمِهِ.
Telah datang keimanan dengan qadar dalam hadits Jibril menurut sebagian riwayat, di mana Nabi saw bersabda: “Dan kamu percaya dengan qadar, baik dan buruknya.” Hanya saja hadits ini tergolong hadits ahad (persumtif), di samping yang dimaksud dengan qadar di sini adalah ilmu Allah, dan bukan qadha’ dan qadar yang menjadi fokus perselisihan dalam memahaminya.
Pernyataan al-Nabhani di atas memberikan kesimpulan bahwa. Pertama, keimanan dengan qadar Allah hanya terdapat dalam hadits Jibril menurut sebagian riwayat. Kedua, hadits tentang qadar tergolong hadits ahad yang tidak meyakinkan. Dan ketiga, yang dimaksud dengan qadar dalam hadits Jibril tersebut adalah pengetahuan atau ilmu Allah, dan bukan qadha’ dan qadar yang menjadi fokus kajian kaum Muslimin.
Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani tersebut tidak benar. Pertama, asumsi bahwa keimanan terhadap qadar Allah hanya terdapat dalam hadits Jibril melalui sebagian riwayat adalah tidak benar. Keimanan dengan qadar Allah disamping terdapat dalam hadits Jibril, juga dijelaskan dalam sekian banyak ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Sementara hadits lain yang juga menjelaskan keimanan terhadap qadar juga sangat banyak.
Selain empat hadits di atas, terdapat pula hadits-hadits lain di antaranya adalah:
عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ قَالَ، قَالَ لِي عِمْرَانُ بْنُ الْحُصَيْنِ: أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ مِنْ قَدَرِ مَا سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ، فَقُلْتُ: بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى عَلَيْهِمْ، قَالَ فَقَالَ: أَفَلاَ يَكُونُ ظُلْمًا، قَالَ: فَفَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَزَعًا شَدِيدًا، وَقُلْتُ: كُلُّ شَيْءٍ خَلْقُ اللهِ وَمِلْكُ يَدِهِ، فَلاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ، وَهُمْ يُسْأَلُونَ، فَقَالَ لِي: يَرْحَمُكَ اللهُ إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ إِلاَّ ِلأَحْزِرَ عَقْلَكَ، إِنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ مُزَيْنَةَ أَتَيَا رَسُولَ اللهِ J فَقَالاَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ الْيَوْمَ وَيَكْدَحُونَ فِيهِ أَشَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ مِنْ قَدَرٍ قَدْ سَبَقَ أَوْ فِيمَا يُسْتَقْبَلُونَ بِهِ مِمَّا أَتَاهُمْ بِهِ نَبِيُّهُمْ وَثَبَتَتْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: لاَ بَلْ شَيْءٌ قُضِيَ عَلَيْهِمْ وَمَضَى فِيهِمْ، وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ (وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا).
Abu al-Aswad al-Dili berkata: “Imran bin al-Hushain berkata kepadaku, “Bagaimana menurutmu, apakah sesuatu yang dikerjakan dan diusahakan oleh manusia sekarang merupakan sesuatu yang telah diputuskan sebelumnya oleh Allah dan sesuai dengan ketentuan yang telah berlalu bagi mereka, atau juga apa yang akan mereka hadapi dari hal-hal yang telah dibawa oleh nabi mereka dan hujjah telah berlaku pada mereka?”
Aku menjawab: “Tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ditetapkan sebelumnya pada mereka.”
Abu al-Aswad berkata; “Imran bertanya lagi: “Apakah hal itu bukan kezaliman dari Allah?”
Abu al-Aswad berkata: “Aku sangat terkejut dengan pernyataan Imran.
Lalu aku berkata: “Segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Jadi, Allah tidak akan ditanya atas perbuatan-Nya, melainkan manusia yang akan ditanya atas perbuatan mereka.
Lalu Imran berkata kepadaku: “Semoga Allah mengasihimu. Sesungguhnya aku bertanya hanya karena ingin menguji kemampuan akalmu.
Sesungguhnya dua orang laki-laki dari suku Muzainah mendatangi Rasulullah saw dan bertanya:
“Wahai Rasulullah, apakah apa yang dikerjakan dan diusahakan oleh manusia sekarang ini merupakan sesuatu yang telah diputuskan dan ketentuan yang telah berlalu bagi mereka, atau tentang apa yang akan mereka hadapi berupa sesuatu yang dibawa oleh nabi mereka dan hujjah telah berlaku atas mereka?”
Nabi saw menjawab: “Tentu, sesuatu yang telah diputuskan dan ketetapan yang telah berlalu bagi mereka.”
Pembenaran hal tersebut ada dalam firman Allah SWT: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”
Dalam buku al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir, dijelaskan bahwa istilah qadha’ dan qadar tidak pernah ada dalam al-Qur’an dan sunnah dalam satu paket bersama-sama. Asumsi ini jelas tidak benar berdasarkan hadits shahih berikut ini:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: أَكْثَرُ مَنْ يَمُوْتُ مِنْ أُمَّتِيْ بَعْدَ كِتَابِ اللهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ بِاْلاَنْفُسِ.
Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sebagian besar orang yang meninggal di antara umatku setelah karena ketentuan, qadha’ dan qadar Allah adalah disebabkan penyakit ‘ain.”
Sedangkan asumsi al-Nabhani bahwa hadits tentang keimanan terhadap qadha’ dan qadar Allah termasuk hadits ahad adalah tidak benar. Keimanan terhadap qadha’ dan qadar Allah selain ditegaskan dalam sekian banyak ayat al-Qur’an, juga dijelaskan dalam sekian banyak hadits, seperti hadits-hadits di atas, sehingga kedudukan hadits Jibril tersebut naik peringkatnya menjadi mutawatir ma’nawi, karena substansinya telah dimuat oleh hadits-hadits lain. Anehnya, al-Nabhani sendiri dalam bukunya al-Syakhshiyyat al-Islamiyyah juga menjelaskan tentang pembagian hadits mutawatir menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun sayang sekali, al-Nabhani tidak obyektif dalam menerapkan kaedah pembagian mutawatir tersebut ketika menjelaskan hadits tentang qadha’ dan qadar Allah yang mutawatir secara ma’nawi.
Al-Nabhani juga berasumsi bahwa makna qadar dalam hadits Jibril, “Kamu beriman terhadap qadar Allah, baik dan buruknya”, adalah pengetahuan dan ilmu Allah. Sementara para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengartikan qadar dalam hadits tersebut dengan al-maqdur, yaitu sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah, bukan ilmu Allah. Karena apabila qadar dalam hadits tersebut diartikan dengan ilmu Allah, maka akan menimbulkan pengertian, bahwa ilmu Allah itu ada yang baik dan ada yang buruk. Padahal keburukan atau kejelekan tidak boleh dinisbatkan kepada Allah berdasarkan sabda Rasulullah saw:
وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ.
“Keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada-Mu.”
Kemaksuman Para Nabi
Menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, setiap Muslim harus meyakini bahwa para nabi itu adalah orang yang maksum (terjaga dari perbuatan dosa), baik sesudah mereka diangkat menjadi nabi atau sebelumnya. Namun keyakinan ini berbeda dengan keyakinan Hizbut Tahrir. Dalam hal ini, al-Nabhani berkata:
إِلاَّ أَنَّ هَذِهِ الْعِصْمَةَ لِلأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ إِنَّمَا تَكُوْنُ بَعْدَ أَنْ يُصْبِحَ نَبِيًّا أَوْ رَسُوْلاً بِالْوَحْيِ إِلَيْهِ. أَمَّا قَبْلَ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ عَلَيْهِمْ مَا يَجُوْزُ عَلىَ سَائِرِ الْبَشَرِ، ِلأَنَّ الْعِصْمَةَ هِيَ لِلنُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ.
Hanya saja keterjagaan para nabi dan rasul itu terjadi sesudah mereka menjadi nabi atau rasul dengan memperoleh wahyu. Adapun sebelum menjadi nabi dan rasul, maka sesungguhnya bagi mereka boleh terjadi perbuatan yang terjadi pada manusia biasa, karena keterjagaan itu hanya bagi kenabian dan kerasulan.
Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani di atas tidak benar. Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah telah berpendapat bahwa para nabi itu harus memiliki sifat shidq (jujur), amanat (dipercaya) dan fathanah (cerdas). Oleh karena itu, Allah SWT tidak akan memilih sebagai nabi atau rasul, kecuali terhadap orang yang selamat dari perbuatan hina, khianat, bodoh, dusta dan dungu. Orang yang pada masa lalunya melakukan sifat-sifat tercela seperti ini tidak layak menjadi seorang nabi, meskipun kini telah melepaskan diri dari sifat-sifat tercela tersebut.
Dalam konteks ini al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi (w. 1230 H/1815 M) berkata:
(قَوْلُهُ وَاْلأَمَانَةُ) الْمُرَادُ بِهَا حِفْظُ ظَوَاهِرِهِمْ وَبَوَاطِنِهِمْ مِنَ الْوُقُوْعِ فِي الْمَكْرُوْهَاتِ وَالْمُحَرَّمَاتِ، سَوَاءٌ كَانَتِ الْمُحَرَّمَاتُ صَغَائِرَ أَوْ كَبَائِرَ، كَانَتْ تِلْكَ الصَّغَائِرُ صَغَائِرَ خِسَّةٍ كَسَرِقَةِ لُقْمَةٍ وَتَطْفِيْفِ كَيْلٍ، أَوْ صَغَائِرَ غَيْرِ خِسَّةٍ كَنَظْرٍ لاِمْرَأَةٍ أَوْ لأَمْرَدٍ بِشَهْوَةٍ، كَانَتْ قَبْلَ النُّبُوَّةِ أَوْ بَعْدَهَا، عَمْدًا أَوْ سَهْوًا.
Yang dimaksud dengan amanat mereka adalah keterjagaan lahir dan batin mereka dari terjerumus dalam hal-hal yang makruh dan haram, baik hal-hal yang haram itu berupa dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa-dosa kecil tersebut berupa dosa-dosa kecil yang hina seperti mencuri sesuap nasi dan mengurangi takaran, atau dosa kecil yang tidak hina seperti memandang perempuan atau amrad (laki-laki ganteng) dengan syahwat, baik sebelum kenabian atau sesudahnya, baik disengaja atau lupa.
Rasulullah saw sendiri ketika sebelum menjadi nabi di kalangan penduduk Makkah dikenal dengan gelar al-Amin, yakni seorang yang dipercaya, tidak pernah berbohong, tidak pernah berkhianat dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang tercela hingga beliau diangkat sebagai nabi dalam usia empat puluh tahun.
Dengan berpijak terhadap pendapat al-Nabhani, bahwa para nabi boleh jadi melakukan perbuatan dosa apa saja sebelum menjadi nabi sebagaimana layaknya manusia biasa, Hizbut Tahrir berarti berpandangan bahwa derajat kenabian yang agung boleh disandang oleh orang yang pada masa lalunya sebagai pencuri, perampok, homo sex, pembohong, penipu, pecandu narkoba, pemabuk dan pernah melakukan kehinaan-kehinaan lainnya.
Melecehkan Mayoritas Kaum Muslimin
Taqiyyuddin al-Nabhani berkata:
وَالْحَقِيْقَةُ أَنَّ رَأْيَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَرَأْيَ الْجَبَرِيَّةِ وَاحِدٌ، فَهُمْ جَبَرِيُّوْنَ. وَقَدْ أَخْفَقُوْا كُلَّ اْلإِخْفَاقِ فِيْ مَسْأَلَةِ الْكَسْبِ، فَلاَ هِيَ جَارِيَةٌ عَلىَ طَرِيْقِ الْعَقْلِ، إِذْ لَيْسَ عَلَيْهَا أَيُّ بُرْهَانٍ عَقْلِيٍّ، وَلاَ عَلىَ طَرِيْقِ النَّقْلِ، إِذْ لَيْسَ عَلَيْهَا أَيُّ دَلِيْلٍ مِنَ النُّصُوْصِ الشَّرْعِيَّةِ، وَإِنَّمَا هِيَ مُحَاوَلَةٌ مُخْفِقَةٌ لِلتَّوْفِيْقِ بَيْنَ رَأْيِ الْمُعْتَزِلَةِ وَرَأْيِ الْجَبَرِيَّةِ.
Pada dasarnya pendapat Ahlussunnah dan pendapat Jabariyah itu sama. Jadi Ahlussunnah itu Jabariyah. Mereka telah gagal segagal-gagalnya dalam masalah kasb (perbuatan makhluk), sehingga masalah tersebut tidak mengikuti pendekatan rasio, karena tidak didasarkan oleh argument rasional sama sekali, dan tidak pula mengikuti pendekatan naqli karena tidak didasarkan atas dalil dari teks-teks syar’i sama sekali. Masalah kasb tersebut hanyalah usaha yang gagal untuk menggabungkan antara pendapat Mu’tazilah dan pendapat Jabariyah.
Dalam bagian lain, al-Nabhani juga mengatakan:
الإِجْبَارُ هُوَ رَأْيُ الْجَبَرِيَّةِ وَأَهْلِ السُّنَّةِ مَعَ اخْتِلاَفٍ بَيْنَهُمَا فِي التَّعَابِيْرِ وَاْلاِحْتِيَالِ عَلىَ اْلأَلْفَاظِ، وَاسْتَقَرَّ الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ هَذَا الرَّأْيِ وَرَأْيِ الْمُعْتَزِلَةِ، وَحُوِّلُوْا عَنْ رَأْيِ الْقُرْآنِ، وَرَأْيِ الْحَدِيْثِ، وَمَا كَانَ يَفْهَمُهُ الصَّحَابَةُ مِنْهُمَا.
Ijbar (keterpaksaan) adalah pendapat Jabariyah dan Ahlussunnah, hanya antara keduanya ada perbedaan dalam ungkapan dan memanipulasi kata-kata. Kaum Muslimin konsisten dengan pendapat ijbar ini dan pendapat Mu’tazilah. Mereka telah dipalingkan dari pendapat al-Qur’an, hadits dan pemahaman shahabat dari al-Qur’an dan hadits.
Pernyataan al-Nabhani di atas mengantarkan pada beberapa kesimpulan.
Pertama, pendapat Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan Jabariyah itu pada dasarnya sama dalam masalah perbuatan manusia. Perbedaan antara keduanya hanya dalam ungkapan dan dalam manipulasi kata-kata.
Kedua, Ahlussunnah Wal-Jama’ah telah gagal dalam mengatasi problem perbuatan manusia melalui pendekatan teori kasb, sehingga terjebak dalam pendapat yang tidak didukung oleh dalil rasional maupun dalil naqli.
Ketiga, kaum Muslimin sejak sekian lamanya telah berpaling dari al-Qur’an, hadits dan ajaran sahabat.
Dan keempat, pernyataan tersebut memberikan kesan yang cukup kuat bahwa al-Nabhani dan Hizbut Tahrir telah keluar dari golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan mayoritas kaum Muslimin.
Sudah barang tentu pernyataan al-Nabhani di atas termasuk kesalahan fatal dalam soal ideologi dan pelecehan terhadap para ulama kaum Muslimin.

No comments :

Post a Comment