#Label1 .widget-content{ height:200px; width:auto; overflow:auto; }

Thursday 12 March 2015

NU Harus Tetap pada Garis Perjuangan Ulama

BanyuwangiSelain aktivitasnya mengasuh para santri, KH. M. Zainullah Marwan, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Desa Buluagung, Kecamatan Siliragung, Banyuwangi, Jawa Timur juga aktif dalam organisasi Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren (MMPP). Di dalam organisasi yang menghimpun para pengasuh pondok pesantren itu, Kiai Marwan menjabat sebagai ketuanya.

Dengan padatnya kegiatan yang dimilikinya, tidak menjadikan alumnus Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri ini memalingkan perhatiannya pada Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Marwan mengungkapkan pandangan-pandangannya tentang  jam’iyyah diniyyah terbesar di Indonesia ini. Dengan bahasa yang lugas dan tegas, kiai ini menjawab wawancara dengan mengurai beberapa hal yang dirasa penting dalam menjaga dan memperjuangkan NU.

Menurut Kiai Marwan, sampai kapan pun NU harus tetap berada pada garis perjuangan yang telah ditetapkan oleh para ulama pendirinya, yakni memperjuangkan berkembangnya ajaran Islam ala ahlus sunnah wal jamaah dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan berbagai sendi kehidupan masyarakat lainnya.

Dalam melaksanakan cita-cita ideal tersebut, NU tidak bisa sendirian. NU harus mampu merangkul semua pihak. Bahkan, pemerintah pun perlu dirangkul untuk bersama-sama membangun masyarakat. Karena tidak bisa dipungkiri, NU hidup di tengah-tengah keberagaman sosial masyarakat, di dalam sebuah negara hukum yang bernama Indonesia. “Perjuangan NU tidak akan bisa berjalan secara normal, kecuali mendapat perlindungan dari pemerintah,” dalihnya.

Meskipun demikian, Kiai Marwan tidak sependapat apabila hubungan NU dengan pemerintah ini, berupa hubungan yang bersifat personal pengurus saja. Tapi harus bersifat kelembagaan yang saling menghormati dan menghargai. Lebih-lebih kalau sampai pemerintah mendikte pelaksanaan ubudiyah NU. Menurutnya, hal ini tidak boleh terjadi. “Hubungan NU dengan pemerintah harus berdasar demi kepentingan umat,” tegasnya, Senin, (26/1) di Banyuwangi.

Lebih jauh Kiai Marwan mengungkap tentang pola hubungan yang seharusnya terjalin antara ulama dan umaro. Sambil menyitir sebuah hadis yang berbunyi, “Shinfaani min an-naasi idza sholuhaa sholuha an- naasu wa idza fasadaa fasada an-naasu.” Yang artinya, ada dua golongan manusia, jika keduanya baik maka baiklah manusia. Dan jika keduanya rusak, maka rusaklah manusia. Kedua golongan yang dimaksud, jelas dia, adalah ulama dan umaro. “Kata sholuha di sini tidak boleh diartikan rukun, akan tetapi artinya baik,” ungkapnya.

Apabila kata sholuha dalam hadis tersebut diartikan rukun, maka maknanya pun akan menjauhi peran dan tanggung jawab ulama dan umaro. Bisa saja, keduanya tetap rukun meskipun melakukan hal yang salah dan tidak menguntungkan rakyat. Akan sangat berbahaya apabila terjadi demikian.

“Jadi, yang dimaksud hadis ini adalah manusia akan baik apabila ulama dan umaro-nya baik. Artinya, berada pada tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. NU menurut saya harus demikian,” katanya.

NU, terang dia, harus pintar memposisikan kader-kadernya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Yang kiai, ya jadilah kiai yang benar-benar kiai dan ngaji. Yang politisi, ya jadilah politisi yang jujur dan bertanggung jawab,” harapnya.

Di akhir wawancara, Kiai Marwan berpesan kepada warga NU terkait dengan makin maraknya kelompok-kelompok atau aliran-aliran agama dan pemikiran akhir-akhir ini. “Menyikapi keadaan seperti ini, masyarakat harus memilih untuk mengikuti tradisi pemikiran maupun keagamaan yang sudah teruji selama ratusan tahun. Tradisi pemikiran dan keagamaan yang bermunculan saat ini harus diuji,” katanya

No comments :

Post a Comment