Asal kata Tajwid yaitu dari kata bahasa Arab “jawwada - yujawwidu- tajwiidan”
(جوَّدَ يجوِّد ، تجويدًا ، فهو مُجوِّد ، والمفعول مُجوَّد) berarti
membuat sesuatu menjadi bagus. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan
bahwa istilah ini muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah
ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang berbunyi :
ورتل القرأن ترتيلا
Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf, yang
berarti membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan
shifat) dan tahu tempat-tempat waqaf. Selama ini memang belum ditemukan
musnad tentang perkataan beliau mengenai hal di atas, dan kisah ini
hanya terdapat dalam kitab tajwid. Akan tetapi para ulama’ bersepakat
bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf.
Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qiraat, maka perlu
diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid. Pendapat
sebagian ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda, namun pada
intinya sama. Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan.
Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan
makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik
berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.
Sebagian ulama yang lain medefinisikan tajwid sebagai berikut: “Tajwid
ialah mengucapkan huruf(al-Quran) dengan tertib menurut yang
semestinya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta melembutkan
bacaannya dengan sempurna mungkin tanpa berlebihan ataupun dibuat-buat”.
Kapan Ilmu Tajwid Mulai Ada ?
Jika ditanyakan kapan asal mula ilmu Tajwid, maka pada dasarnya ilmu
ini telah ada sejak al-Quran diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini
karena Rasulullah SAW sendiri diperintahkan untuk membaca al-Quran
dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
“Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)”. (QS. Al-Muzammil 73 : 4)
Kemudian Rasulullah SAW mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat
dengan bacaan yang tartil. Para sahabat menguasai semua itu seperti
yang telah di ajarkan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Diantaranya seperti Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan lain sebagainya.
.
Semua ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu
hasil dari ijtihad (fatwa) para ulama’ yang di olah berdasarkan
dalil-dalil dari al-Quran dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah
suatu yang taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang
asal yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah SAW.
Akan tetapi bagaimanapun, yang dianggap sebagai penulisan ilmu tajwid
yang paling awal adalah ketika adanya kesadana akan perlunya mushaf
Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman diberikan titik-titik pada
huruf-hurufnya, kemudian baris-baris bagi setiap huruf dan pelafalannya.
Gerakan ini diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad
Al-Farahidi, dimana ketika itu Khalifah umat Islam memiliki tugas besar
untuk hal ini disaat umat Islam mulai ada yang melakukan kekeliruan
didalam bacaan.
Itu karena ketika masa Sayyidina Ustman, belum diberi titik-titik
maupun harakat, sebab bertujuan memberi keleluasaan kepada para sahabat
dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah
ambil dari Rasulullah SAW, berdasarkan dengan dialek bangsa Arab yang
beraneka ragam.
Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab
serta takluknya Roma dan Persia ke tangan umat Islam pada tahun pertama
dan kedua Hijrah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa
penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan
terjadinya beberapa kekeliruan didalam penggunaan bahasa Arab dan
demikian juga dengan pembacaan al-Quran. Maka, al-Quran Mushaf Utsmaniah
diberi tambahan titik-titik dan harakat pada huruf-hurufnya untuk
menghidari kekeliruan-kekeliruan tersebut.
Permulaaan Pembukuan Ilmu Tajwid
Orang yang pertama kali menghimpun ilmu ini dalam bentuk kitab adalah Al-Imam al-‘Adhim Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam pada
abad ke-3 Hijriyah didalam kitabnya “Kitabul Qiraa-at/ كتاب القراءات”.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama mengarang dan
menghimpun ilmu-ilmu qira-at adalah Hafsh bin Umar Ad-Duriy.
Adapun pada abad ke-4 Hijriyah, masyhur seorang imam bernama Al-Hafidz Abu Bakar bin Mujahid Al-Baghdadiy,
ia merupakan orang yang pertama kali mengarang kitab mengenai bacaan 7
qira’at yang masyhur (Kitab al-Sab’ah). Ia wafat pada tahun 324 H.
Memasuki abad ke-5 Hijriyah, masyhur nama Al-Hafidz Al-Imam Abu ‘Amr Ustman bin Sa’id Ad-Dani,
pengarang kitab Al-Taysir (التيسير) yang berisi tentang qira-at Sab’ah
dan menjadi sandaran pada ahli Qurra’. Ia juga memiliki banyak karangan
dalam bidang seni qiraat dan lainnya. Dimasa ini juga masyhur, seorang
ulama bernama Al-Imam Makki bin Abi Thalib Al-Qaisi Al-Qairawani, ia mengarang bermacam-macam kitab tentang qira’at dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Pada abad ke-6 Hijriyah, tampil seorang ulama yang menjadi rujukan
tokoh-tokoh ulama yang sezaman dengannya maupun datang setelahnya,
dengan karangannya bernama “Hirzul Amani wa Wajhut Tahani” atau terkenal
dengan “Matan Syathibiyah”, berisi 1173 bait tentang qira-at sab’ah. Ia
adalah Abul Qasim bin Fairah bin Khalaf bin Ahmad Ar-Ru’aini Al-Syathibi al-Andalusi, wafat pada tahun 590 H.
Setelah itu, banyak ulama yang menekuni bidang ini disetiap masa,
menegakkan panji-panji al-Qur’an baik dengan membaca dan
mengaplikasikannya, hingga akhirnya muncul tokoh penting dalam bidang
ilmu tajwid dan qira-at yaitu Imamul Muhaqqiqin wa Syaikhul Muqri-iin Muhammad Ibnu Al-Jazari Al-Syafi’I dengan
karangannya Al-Nasyr fil Qiraa-atil ‘Asyr, Thayyibatun Nasyr dan
Ad-Duratul Mudhiyyah yang mempolopori bahwa ilmu qira-at ada 10, yaitu
sebagai pelengkap apa yang telah dinyatakan oleh Imam al-Syathibi
didalam kitab Hirzul Amani.
No comments :
Post a Comment