#Label1 .widget-content{ height:200px; width:auto; overflow:auto; }

Thursday 10 April 2014

Pemilu Legislatif dalam Perspektif Islam

HAMPIR semua negara saat ini memiliki dua kali pemilu dalam satu periode, yaitu pemilu legislatif (anggota DPD/DPR/DPRD provinsi dan kabupaten/kota), dan pemilu kepala Negara/kepala pemerintahan (presiden atau perdana menteri). Konsentrasi kita kali ini adalah bagaimana ketentuan Islam terhadap pemilu anggota legislatif dan bagaimana tatacara pemilihannya. Tidak banyak Negara saat ini yang konsen dengan pemilu anggota legislatif menurut ketentuan Islam.
Saat ini, hampir semua negara khususnya negara-negara mayoritas muslim mengikuti rentak langkah politik dunia yang diasaskan oleh Montesquie dengan konsep Trias Politica. Yaitu sistem negara berdasarkan tiga kekuatan utama, yaitu legislatif (parlemen), eksekutif (pemerintah), dan yudikatif (kehakiman/kejaksaan/kepolisian). Ketiga lembaga tersebut anggotanya dua dipilih oleh rakyat, dan satu dipilih oleh pemerintah dengan persetujuan parlemen. Yang dipilih rakyat adalah anggota parlemen dan kepala pemerintahan, sementara kehakiman/kejaksaan/kepolisian ditentukan oleh penguasa negara/wilayah dengan persetujuan anggota parlemen.
Sejauh pantauan politik Islam, cara semacam itu tidak pernah wujud dalam sistem politik Islam baik semasa nabi maupun sesudahnya. Pada masa Nabi yang menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif adalah Nabi sendiri, karena Nabi yang dipilih oleh Allah menjadi pemimpin, Nabi yang diberikan hak untuk menjadi ketua parlemen, dan nabi pula yang menjadi hakim, jaksa dan polisi. Sementara praktik muslim dan para pelaku politik dari kalangan muslim hari ini sudah membaur dengan sistem Trias Politica dan kebiasaan serta kebijakan dunia internasional yang dikomandani Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

 Sistem politik Islam
Dalam sistem politik Islam ada satu lembaga yang disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yang terdiri dari sejumlah orang pilihan yang bertugas menentukan kepemimpinan negara. Mereka bertugas memilih, menasehati dan memecat kepala negara sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam Islam. Orang-orang yang duduk dalam lembaga tersebut merupakan orang-orang alim yang kuat akidah, paham syariah dan bagus akhlaknya yang dipilih dan ditunjuk oleh satu tim atau badan khusus yang mempersiapkan anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
Pada zaman Nabi prosedur seperti itu belum wujud lagi karena nabilah yang diamanahkan Allah untuk menguasai ketiga lembaga dalam konsep Trias Politica. Tetapi pada zaman Abu Bakar secara otomatis lembaga tersebut sudah wujud walaupun belum disebut sebagai lembaga Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Pada masa itu Abu Bakar dipilih dan di-bai’at langsung oleh lima orang sahabat (Umar bin Khattab, Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah, Usayd bin Hudayr, Bisr bin Sa’ad dan Salim bekas hamba Abu Huzaifah ra). Kemudian baru datang orang banyak untuk ikut ber-bai’at kepadanya. Para wakil penentu khalifah tersebutlah dijadikan representatif Ahlul Halli wal ‘Aqdi di zaman awal proses kepemimpinan Islam pasca Nabi.
Pada masa Umar bin Khattab, anggota Ahlul Halli wal ‘Aqdi telah disiapkan untuk menentukan pemimpin setelahnya. Beliau menunjuk enam orang sahabat untuk keperluan tersebut yaitu Uthman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin ‘Auf. Merekalah yang memilih Usman bin Affan menjadi khalifah setelah Umar. Demikian juga proses pemilihan Ali yang dibai’at oleh beberapa orang yang dapat mewakili lembaga Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
Dalam sistem pemerintahan yang memacu kepada sistem demokrasi hari ini, dunia tidak lagi menggunakan lembaga Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam memilih anggota parlemen melainkan memicu kepada konsep Trias Politica. Apa yang menjadi kendala dan kerugian bagi muslim dan Islam dengan cara demikian adalah; sistem demokrasi yang menyerahkan seluruh keperluan dan keputusan kepada rakyat akan menghasilkan keputusan yang pincang, tidak adil dan berat sebelah. Contohnya dalam pemilu legislatif setiap anggota partai berusaha keras mengajak, membajak, menipu, menteror rakyat agar memilih partai mereka. Dalam penghitungan suara juga berlaku hal serupa, ketika penghitungan suara partai merekalah yang menang, lalu disahkan dan ditetapkan partai mereka sebagai pemenang.
Dalam sistem demokrasi asal sudah menang dan disahkan kemenangannya oleh pihak berwenang maka sahlah partai tersebut yang menang tanpa melihat proses kemenangan mereka dengan cara-cara jahat dan dhalim. Sementara dalam sistem politik Islam yang dilihat dan diperhitungkan adalah dari awal proses persiapan pemilu sampai kepada pemilihan, penghitungan suara dan pengesahan pemenangnya harus selaras dengan syariat islam yang jauh dari terror, tipu, paksa, membeli suara dan sebagainya.
Karena itu pulalah cenderung hasil pemilu dengan sistem demokrasi dapat membawa malapetaka kepada sesuatu kaum, bangsa dan negara. Karena kalau dalam satu negara itu didominasi oleh orang bodoh dan jahat yang tidak tau halal haram maka wakil rakyat yang dipilihnya adalah orang-orang seperti mereka; yang tidak shalat, tidak puasa, suka minum khamar, suka berjudi, suka berzina, suka membunuh dan tidak punya kasih sayang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara orang-orang Islam yang baik-baik tidak mau bergabung kedalam kelompok mereka karena takut dausa, atau tidak diterima bergabung dengan mereka karena takut mereka tidak bisa buat dausa, maka jadilah sesuatu negara mayorits muslim itu hancur baur dalam sistem politik. Ketika sistem politik sudah hancur maka sistem ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya akan ikut hancur pula karena kuasa politik itu amat berpengaruh dalam bidang kehidupan lainnya.
 Azas musyawarah
Sejauh kajian siyasah (ketentuan politik dalam Islam), belum ada satu format baku yang mewajibkan umat Islam memilih anggota legislatif dengan cara tertentu. Yang ada hanyalah tatacara pemilihan khalifah-khalifah setelah Nabi wafat, boleh jadi karena dulu umat Islam belum mengenal demokrasi, maka sistem pemilu hari ini belum diamalkan muslim dulu. Islam berpegang kepada azas musyawarah (wa amruhum syuwra bainahum, dan wasyaawirhum fil amr) dan azas kebajikan dan takwa (wa ta’a wanu ‘alal birri wattaqwa, wala ta’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan).
Dengan azas tersebut, dan karena Nabi serta para sahabat tidak mewajibkan satu model tatacara pemilu legislatif untuk muslim, maka sistem pemilu anggota legislatif seperti yang berlaku hari ini berada pada posisi mubah (dibolehkan) dengan ketentuan; harus berlaku adil, sopan, muslihat, tidak meneror, tidak menipu, tidak membunuh, tidak membeli suara dalam pelaksanaannya.
Kalau pemilu terjadi penuh dengan teror, tipu, money politics, beli suara, ancam mengancam, tukar menukar kotak suara dan sejenisnya, maka pelaksanaan pemilu tersebut haram hukumnya. Walaupun pemilu itu sendiri hukumnya mubah, tetapi jika dilaksanakan dengan cara-cara yang haram, maka hasil pemilu tersebut juga menjadi haram. Oleh karenanya, mengingat pengalaman bertahun-tahun khususnya di Indonesia dan lebih khusus lagi di Aceh yang menjalankan pemilu dengan cara bunuh membunuh, bakar membakar, seueb meuseueb, teunak teumeunak, dan negara tidak mampu mengawasi semua pelanggaran tersebut, maka pemilu itu hukumnya menjadi haram.
Untuk menghindari prilaku dan praktik pelaksanaan pemilu haram sebagaimana uraian di atas, ada lima langkah yang masih bisa dilakukan untuk Indonesia termasuk Aceh, yaitu: Pertama, seluruh umat Islam harus memahami halal-haram dalam kehidupan ini dan menjalankan yang halal dengan meninggalkan yang haram khususnya dalam pelaksanaan pemilu; Kedua, para cendekiawan, alim ulama, intelektual muslim wajib mengajar dan berdakwah kepada masyarakat awam dan masyarakat politik yang terlibat langsung dalam pemilu tentang tatacara pelaksanaan pemilu yang halal;
Ketiga, para pemimpin dan penguasa negara harus berlaku adil, tidak membela partai sendiri dengan menghancurkan partai orang lain, tidak membiarkan kader/simpatisan partainya menganiaya kader/simpatisan partai lain dan berada betul-betul pada posisi netral (tidak memihak); Keempat, kepada semua pihak harus diingat bahwa mencari rezeki banyak jalan dalam kehidupan ini, maka jangan mencari rezeki dengan cara-cara haram lewat jalur politik. Dan mencari kuasa, pangkat dan jabatan bukan kewajiban dalam kehidupan ini, kalau kita tinggalkan tidak berdausa, malah ada kemungkinan berpahala, maka hindari perbuatan haram, dan;
Kelima, kalau tidak sanggup melakukan demikian dan tetap saja berlaku curang dalam pemilu, maka golongan putih (golput) bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan Aceh menjadi jalan terbaik dan halal hukumnya baik di dunia maupun di akhirat. Karena kalau memilih tersandung dengan dosa baik yang kita buat sendiri maupun yang dibuat kaum, kelompok atau golongan kita.

No comments :

Post a Comment